Lebih Sayang Suami Atau Gadget?

ilustrasi
MediaTangerang.com, - Beberapa hari lalu, banyak diberitakan media online tentang pasangan artis Cinthya Lamusu dengan Surya Saputra yang kerap bertengkar karena keasyikan Cinthya dengan gadget-nya. Rupa-rupanya Surya merasa gerah karena Cinthya lebih lengket dengan gadget daripada dengan dirinya. Ini hanya salah satu contoh dari sangat banyak contoh persoalan rumah tangga yang bermula dari gadget, sehingga pasangan merasa diabaikan.

“Kan awal-awalnya baru bisa twitteran, maklum masih baru dan agak norak waktu itu. Aku update status mulu. Terus pernah suatu ketika Surya marah dia bilang kalau twiteran terus nanti diturunin disini,” ungkap Cinthya tentang pertengkarannya yang dipicu oleh keasyikan menggunakan twitter.

Ya, kesibukan mengurus anak, menyelesaikan pekerjaan rumah tangga, tuntutan kerja, target bisnis, urusan organisasi, keasyikan hobi, bahkan gadget, bisa menyita perhatian istri sehingga menyebabkan suami merasa diabaikan. Suami merasa tidak diperlukan dan tidak lagi mendapatkan prioritas perhatian dari istri. Situasi seperti ini bisa memunculkan sejumlah persoalan yang bisa semakin berkembang. Sejak dari perasaan kehilangan cinta dari istri, perasaan kesepian, hingga masalah pelarian mencari cinta dan kehangatan dari orang lain yang memberikan perhatian khusus kepadanya.

Jika hal ini dibiarkan berlarut-larut, akan membuat suami dan istri semakin menjauh satu dengan yang lain. Semakin tidak peduli dan semakin hilang kehangatan cinta di antara mereka berdua.

Ketika Suami Merasa Diabaikan

Penulis buku ‘The Pathway to Love’, Julie Orlov menyatakan, “Seiring berkembangnya usia pernikahan, kadang laki-laki merasa mereka hanya dianggap penting dalam urusan bayar-membayar.” Itu yang sering saya sebut sebagai “sibuk berumah tangga”, namun “lupa bersahabat” dengan pasangan. Urusan suami istri hanya terkait rutinitas kehidupan rumah tangga yang memang tidak akan ada habis-habisnya.

Oleh karena itu penting bagi para istri untuk membuat suami tetap merasa diperhatikan dan diprioritaskan. Caranya, luangkan waktu untuk mengobrol dan mengikuti kemauan suami. Dalam obrolan itu coba bahas hal-hal yang santai dan menyenangkan. Jangan terfokus membicarakan urusan anak, tagihan SPP, tagihan listrik, serta beras dan gula yang menipis.

Ketika suami tengah asyik menceritakan suatu urusan pekerjaan atau urusan teman yang menurutnya menarik, fokuskan perhatian pada ceritanya itu. Jangan menyela atau membuatnya badmood. Meluangkan waktu khusus untuk memperhatikan dan membersamai suami akan membuat suami nyaman dan percaya bahwa dirinya tetap menjadi prioritas.

Para istri harus menghentikan dulu apapun yang sedang dikerjakan waktu itu. Jangan merespon dengan anggukan kepala dan berpura-pura mendengarkan omongan suami, sementara istri menonton televisi atau asyik berbalas pesan di WA atau menulis pesan di BBM. Hadapkan badan, wajah dan mata anda kepada suami saat ia berbicara. Letakkan dan jauhkan gadet anda. Itu akan membuat suami merasa nyaman. Jangan menjauh dari suami, tapi mendekatlah semakin dekat.

Psikolog dari Universitas Columbia, Kristina Marchant, menyatakan, perempuan itu lucu, karena mereka ingin sekali dekat dengan suami tapi sebagian besar dari mereka justru sulit untuk membiarkan kedekatan itu terjadi. Perempuan cenderung melakukan sejumlah aktivitas yang berdampak menghalangi dirinya dari keintiman dengan suami. Walaupun aktivitas itu memang bermanfaat, seperti membersihkan dapur, mencuci piring dan gelas, dan sebagainya.

Jadi cobalah untuk mengalokasikan waktu untuk memerhatikan dan melayani suami sepenuhnya. Kebersamaan anda berdua saat suami di rumah adalah sesuatu yang mahal. Sehari-hari anda berdua sudah tersibukkan oleh berbagai kegiatan dan rutinitas yang melelahkan dan tiada habisnya. Maka alokasikan waktu untuk bercengkerama dan mengobrol dalam suasana santai serta rileks. Hilangkan semua beban dan persoalan yang anda bawa dari luar rumah. Nikmati kebahagiaan dengan pasangan.

Hindari Nomophobia dan WhatsAppitis

Seiring kemudahan berkomunikasi melalui teknologi komunikasi, muncul pula dampak ikutan yang menyertainya. Misalnya gejala kecanduan yang menyebabkan seseorang tergantung kepada gadget, yang dikenal sebagai nomophobia. Ketika muncul rasa cemas setiap kali lupa membawa ponsel, atau cemas ketika tidak segera membuka gadget, atau cemas ketika khawatir baterai habis, atau khawatir di tempat yang didatangi nanti tidak ada colokan listrik untuk men-charge gadget, atau cemas karena tidak membawa powerbank, atau khawatir di tempat tujuan nanti tidak ada signal, itu adalah gejala nomophobia, alias ‘No Mobile Phone Phobia’.

Perasaan ingin terus menyambung dengan orang lain, atau ingin mendapatkan informasi terbaru, telah membuat banyak orang ketagihan dan kecanduan gadget. Seseorang yang tidak bisa lepas dari gadget, tiap beberapa menit merasa harus melihat gadgetnya, ini adalah seorang nomophobis.

Selain penyakit nomophobia, ternyata muncul pula penyakit lainnya yang lebih spesifik, yaitu WhatsAppitis. Aplikasi yang satu ini memang sangat mengasyikkan dan melenakan pecintanya. Saking banyaknya pengguna fitur WhatsApp, sampai seseorang bisa memiliki lebih dari 30 grup WhatsApp, ada yang lebih dari 50 grup dan bahkan ada yang di atas 100 grup WhatsApp. Semua untuk berkomunikasi dalam grup, dengan segala jenis kepentingan dan tujuannya.

Pada awalnya tampak baik-baik saja, bahkan menggembirakan karena bisa bertemu, berkenalan, mengobrol dan bercanda dengan banyak orang. Bisa bertemu teman baru, bisa berjumpa teman lama, bisa mengobrol dengan sangat asyiknya, setiap hari, bahkan setiap jam, bahkan setiap menit. Saling memposting tulisan, saling share, saling mengunggah foto dan video. Semua sangat mengasyikkan. Karena mengasyikkan maka melenakan. Seseorang mudah terlena, sampai tidak terasa di gadgetnya tersimpan 50 grup WhatsApp, atau bahkan lebih.

Laman dailymail.co.uk belum lama ini merilis sebuah penemuan penyakit baru yang disebut Whatsappitis, oleh dokter Ines Fernandez-Guerrero dari Spanyol. Awalnya, seorang wanita mengeluhkan kedua pergelangan tangannya yang terasa sakit di pagi hari. Setelah sang dokter menyelidiki apa yang terjadi, dia menemukan bahwa rasa sakit ini muncul karena ia menghabiskan waktu 6 jam untuk membalas pesan menggunakan aplikasi Whatsapp. Wanita yang tengah hamil 27 minggu ini tidak memiliki luka atau penyakit khusus lainnya, juga tidak melakukan aktifitas fisik yang berat selama beberapa hari terakhir.

Menurut dr Ines, wanita berusia 37 tahun tersebut sedang melakukan aktivitas terkait pekerjaannya yang membuat ia harus menjawab pesan-pesan yang masuk menggunakan aplikasi Whatsapp. Dia memegang smartphonenya yang memiliki berat 130 g selama lebih dari 6 jam. Selama itu, dia tidak henti-hentinya menggerakkan jari-jarinya untuk mengetik pesan. Dokter memberinya obat pereda rasa sakit dan melarangnya menggunakan smartphone. Diagnosa yang diberikan dokter kepadanya adalah WhatsAppitis.

Selain penyakit Nomophobia dan WhatsAppitis, sebelumnya dikenal beberapa penyakit lain yang diakibatkan oleh teknologi, antara lain Nintendinitis yang disebabkan karena terlalu banyak menekan tombol pada gamepad; dan Blackberry Thumb yang disebabkan karena terlalu banyak menggunakan tombol scroll pada Blackberry. Berbagai kelainan atau penyakit ini menandakan betapa bahayanya pengaruh teknologi komunikasi, jika kita tidak pandai membatasi diri.

Telah menjadi pengetahuan umum, bahwa kecanduan terhadap teknologi bisa membuat kehidupan berumah tangga berantakan. Sean Patrick Hatt, Ph.D, seorang psikolog asal Seattle mengungkapkan, “Dengan mata terus menempel pada layar smartphone anda, bukanlah hal yang kondusif untuk hubungan dengan pasangan.” Komunikasi pasti akan terganggu apabila pasangan lebih lekat dengan layar smartphone daripada menatap pasangan.

Sebuah survei yang dilakukan oleh OkCupid.com mengungkapkan bahwa orang yang aktif ‘nge-tweet’ berisiko memiliki hubungan tidak langgeng, 10% lebih pendek, dibandingkan mereka yang tidak punya twitter. Oleh karena itu, para peneliti menyarankan untuk menghindari kecanduan terhadap teknologi dan lebih banyak menghabiskan waktu bersama pasangan dengan mengobrol melalui tatap muka langsung.

So, hati-hati sahabat semua…. Gunakan smartphone kalian secara proporsional. Walaupun untuk tujuan kebaikan, kecanduan gadget jelas tidak baik dan wajib dihindari. Apalagi jika sudah menimbulkan gangguan dalam interaksi dan komunikasi dengan suami. Jauh lebih penting menjaga dan merawat hubungan yang nyaman dengan suami, dibandingkan dengan merawat hubungan dengan gadget.
 
Cahyadi Takariawan
Sumber: Kompasiana 

Posting Komentar

0 Komentar