MediaTangerang.com, - Kalau dalam tinju, ada ring announcer yang menjadi mc untuk memperkenalkan kedua petinju yang akan berlaga sekaligus menghidupkan suasana.
Bedanya, ring announcer menjalankan profesinya secara berkelas. Citarasanya sangat berbeda dengan mc dalam acara hajatan maupun presenter dalam reality show di televisi.
Penjaga Citra
Pemimpin maupun pejabat publik yang bersifat politis pada umumnya memiliki gaya tersendiri dalam berkomunikasi. Mereka akan tampil gagah dalam isu – isu populis dan cenderung menghindar dalam isu – isu kontroversial.
Mereka yang menjadi ring announcer adalah juru bicara, humas, penulis naskah pidato maupun jajaran struktural seperti dirjen, taskforce dan lainnya. Tugas berat ada dipundak mereka, baik untuk mengamankan kebijakan maupun menjaga citra atasannya. Dengan cara yang berkelas tentunya.
Inilah yang kita dapati dalam kasus kisruh sepakbola di tanah air. Tidak sekalipun Menpora tampil didepan tv dalam konteks diskusi untuk memperdebatkan kebijakan yang dibuatnya.
Inipula yang kita dapati saat presiden salah menyebut tanggal lahir presiden pertama. Sukardi Rinakitlah yang minta maaf, sebagai pembuat naskah pidatonya, bukan presiden secara langsung.
The Big Mouth
Ahok barangkali menjadi anomali. Gaya bicara “semau gue” menjadi ciri khas yang melekat erat. Angkuh, tidak simpatik dan cenderung menyulut kontroversi. Selain ahok, tentu banyak politisi lain dengan gaya yang sama. Namun karena mereka berada di parlemen (bukan di eksekutif), maka dianggap sebagai hal yang wajar saja.
Dalam situasi seperti ini, maka pencapaian prestasi menjadi satu – satunya jawaban dan pembuktian. Pada umumnya, orang masih tetap simpatik dengan “omong besar” jika prestasinya mengkilap. Namun jika hasilnya nihil, maka menjadi “omong doang” atau “omong kosong”.
Muhammad Ali tetap dihormati kendati terkenal sebagai The Big Mouth. Eric Cantona tetap disanjung meski berperilaku agresif. Jose Maurinho tetap dipuja meski lidahnya berbisa. Jadi, judul besarnya adalah kapasitas dan pembuktian.
Podium Kosong
Pemimpin besar punya retorika yang menggugah. Bukan sekedar menyemangati audiens dengan gaya berapi–api, namun juga dikutip redaksinya untuk dijadikan falsafah kehidupan.
Namun itu belum cukup. Pemimpin harus bisa memberikan harapan dan memberi solusi bermartabat bagi semua pihak yang dipimpinnya. Dan peran itu tidak bisa diwakilkan oleh ring announcer sekelas Michael Buffer sekalipun. Harus oleh pemimpin dan pejabat bersangkutan secara langsung. Karena bawahan mudah berkilah dan cenderung bicara tanpa beban.
Segala carut marut dinegeri ini perlu diakhiri. Diawali dengan tampilnya pemimpin dan pejabat pembuat kebijakan, untuk berbicara, berdialod atau bahkan berdebat secara langsung. Seperti saat masa kampanye terdahulu.
Bedanya, ring announcer menjalankan profesinya secara berkelas. Citarasanya sangat berbeda dengan mc dalam acara hajatan maupun presenter dalam reality show di televisi.
Penjaga Citra
Pemimpin maupun pejabat publik yang bersifat politis pada umumnya memiliki gaya tersendiri dalam berkomunikasi. Mereka akan tampil gagah dalam isu – isu populis dan cenderung menghindar dalam isu – isu kontroversial.
Mereka yang menjadi ring announcer adalah juru bicara, humas, penulis naskah pidato maupun jajaran struktural seperti dirjen, taskforce dan lainnya. Tugas berat ada dipundak mereka, baik untuk mengamankan kebijakan maupun menjaga citra atasannya. Dengan cara yang berkelas tentunya.
Inilah yang kita dapati dalam kasus kisruh sepakbola di tanah air. Tidak sekalipun Menpora tampil didepan tv dalam konteks diskusi untuk memperdebatkan kebijakan yang dibuatnya.
Inipula yang kita dapati saat presiden salah menyebut tanggal lahir presiden pertama. Sukardi Rinakitlah yang minta maaf, sebagai pembuat naskah pidatonya, bukan presiden secara langsung.
The Big Mouth
Ahok barangkali menjadi anomali. Gaya bicara “semau gue” menjadi ciri khas yang melekat erat. Angkuh, tidak simpatik dan cenderung menyulut kontroversi. Selain ahok, tentu banyak politisi lain dengan gaya yang sama. Namun karena mereka berada di parlemen (bukan di eksekutif), maka dianggap sebagai hal yang wajar saja.
Dalam situasi seperti ini, maka pencapaian prestasi menjadi satu – satunya jawaban dan pembuktian. Pada umumnya, orang masih tetap simpatik dengan “omong besar” jika prestasinya mengkilap. Namun jika hasilnya nihil, maka menjadi “omong doang” atau “omong kosong”.
Muhammad Ali tetap dihormati kendati terkenal sebagai The Big Mouth. Eric Cantona tetap disanjung meski berperilaku agresif. Jose Maurinho tetap dipuja meski lidahnya berbisa. Jadi, judul besarnya adalah kapasitas dan pembuktian.
Podium Kosong
Pemimpin besar punya retorika yang menggugah. Bukan sekedar menyemangati audiens dengan gaya berapi–api, namun juga dikutip redaksinya untuk dijadikan falsafah kehidupan.
Namun itu belum cukup. Pemimpin harus bisa memberikan harapan dan memberi solusi bermartabat bagi semua pihak yang dipimpinnya. Dan peran itu tidak bisa diwakilkan oleh ring announcer sekelas Michael Buffer sekalipun. Harus oleh pemimpin dan pejabat bersangkutan secara langsung. Karena bawahan mudah berkilah dan cenderung bicara tanpa beban.
Segala carut marut dinegeri ini perlu diakhiri. Diawali dengan tampilnya pemimpin dan pejabat pembuat kebijakan, untuk berbicara, berdialod atau bahkan berdebat secara langsung. Seperti saat masa kampanye terdahulu.
Eko Jun
0 Komentar