Ilustrasi (foto: google) |
MediaTangerang.com, - Inilah penuturan 'Aisyah radhiyallahu 'anha, istri Rasulullah shallaLlahu 'alaihi wa sallam yang sangat mulia:
“Barangsiapa yang menceritakan kepada kalian bahwa Nabi shallaLlahu ‘alaihi wa sallam buang air kecil sambil berdiri maka janganlah kalian percayai, karena beliau tidak pernah buang air kecil kecuali dengan duduk.” (HR. Tirmidzi dan Nasa'i).
Berdasarkan penuturan 'Aisyah radhiyallahu 'anha ini, kita memperoleh pelajaran bahwa adab buang air kecil yang dicontohkan oleh Rasulullah shallaLlahu 'alaihi wa sallam adalah dengan cara duduk (قَاعِدًا). Inilah yang dijumpai oleh istri beliau dalam kehidupan sehari-hari hingga akhir hayat. Dan kita sepatutnya menjadikan kebiasaan beliau sebagai teladan dalam hidup kita. Sungguh, sebaik-baik contoh adalah Rasulullah shallaLlahu 'alaihi wa sallam. Kita mencontoh apa beliau kerjakan, kecuali hal-hal yang menjadi kekhususan bagi beliau sebagai nabi dan tidak berlaku bagi yang selain beliau.
Sekali lagi, yang dicontohkan oleh Rasulullah shallaLlahu 'alaihi wa sallam adalah buang air kecil dengan duduk (قَاعِدًا). Jongkok maupun bersila merupakan salah satu cara duduk. Tapi sangat sulit membayangkan seseorang buang air kecil dengan bersila. Maka, tidak mengherankan jika kita kerap memperoleh keterangan bahwa adab buang air kecil adalah dengan jongkok. Maksudnya, jongkok merupakan salah satu cara duduk. Jongkok ini merupakan sebaik-baik cara jika tempat buang air kecil hanya berupa ruangan tanpa WC sehingga buang air kecil di lantai, setelah kita terlebih dulu menyiramnya dengan air agar urine tidak membekas di lantai. Inilah yang dulu kita pelajari saat belajar tentang thaharah semasa kita kecil, semisal saat belajar Sullam Safinah. Jongkok juga cara yang tepat ketika tersedia WC jongkok. Tapi jika yang ada justru WC duduk, mengapa kita perlu merepotkan diri dengan memijakkan kaki di atasnya agar dapat melakukannya dengan jongkok? Tentu saja, saya tidak menyarankan Anda untuk bersila karena ini sangat menyulitkan dan beresiko menebarkan najis.
Yang perlu kita perhatikan adalah, hindari kencing di tempat yang airnya menggenang. Dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu 'anhu, ia berkata:
“Rasulullah shallalLahu ‘alaihi wa sallam melarang kencing di air tergenang.” (HR. Muslim).
Yang dimaksud menggenang ialah airnya tidak mengalir dan tidak dapat dialirkan dengan mudah. Adapun air yang ada di dalam WC yang berfungsi untuk menjaga agar WC lancar dan tidak menyebabkan bau busuk, maka yang demikian ini bukan termasuk air menggenang. Bahkan airnya mudah berganti, mudah mengalir, mudah pula mengalirkan ke dalamnya.
Jadi, yang terlarang adalah buang air kecil di tempat air tergenang, baik sedikit ataupun banyak semisal kolam ikan depan rumah orang. Lebih buruk lagi, bahkan termasuk yang dilaknat, ialah buang air kecil maupun buang air besar di tempat manusia biasa berteduh. Lebih-lebih jika menggabungkan keduanya, yakni airnya tergenang dan sekaligus merupakan tempat manusia berteduh, istirahat.
Sebagaimana ditururkan oleh Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallaLlahu 'alaihi wa sallam bersabda kepada para sahabat:
“Takutlah kalian terhadap perihal dua orang yang terlaknat.” Mereka (para sahabat) bertanya, "Siapakah dua orang yang terlaknat itu, Ya RasulaLlah?” Beliau menjawab, “Yaitu orang yang buang air di jalanan manusia atau tempat berteduhnya mereka.” (HR. Abu Dawud).
Membaca hadis ini, saya sedih dan merinding jika mengingat sebagian tempat di negeri kita; tentang WC umum yang baunya sangat menyengat atau tentang jalanan yang juga menandakan berulangnya orang buang air kecil di jalanan maupun tempat-tempat berteduh manusia di berbagai lokasi. Jika tidak terjadi berulang kali, tidaklah mungkin baunya sampai sedemikian menyengat sehinga satu kali dua kali diguyur hujan pun tidak hilang. Ini juga menandakan betapa agama masih jauh. Maka, bagaimana kita akan mengharap negeri yang digambarkan sebagai baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur jika hal yang tampak sepele saja sulit kita jumpai di masyarakat?
'Alaa kulli hal, mari kita tengok kembali, pernahkah kita melakukan salah satu dari dua perbuatan terlaknat tersebut? Jika kita pernah kencing (apalagi yang lebih dari itu) di jalanan yang dilewati manusia atau di tempat-tempat berteduhnya manusia, maka marilah kita memohon ampun kepada Allah Ta'ala. Kita juga berusaha untuk tidak mengulanginya lagi di masa-masa yang akan datang.
Bagaimana jika kita hendak buang air kecil tapi tidak ada pilihan kecuali dengan berdiri? Yang penting menjaga diri dari najis, menjaga aurat agar tidak tampak oleh orang lain dan berhati-hati dari najisnya kencing sekaligus memperhatikan agar najisnya tidak menebar (memercik) kemana-mana. Sebagaimana kita baca dalam hadis riwayat Tirmidzi dan Nasa'i, Rasulullah shallaLlahu 'alaihi wa sallam memang tidak pernah buang kecil dengan cara berdiri sejauh yang diketahui oleh istri beliau, yakni 'Aisyah radhiyallahu 'anha. Selama membersamai Rasulullah shallaLlahu 'alaihi wa sallam, Ummul Mukminin tidak pernah mendapati suaminya kencing dengan berdiri.
Kita juga mendapati peringatan dari Ibnu Mas'ud radhiyallahu 'anhu:
“Di antara perangai yang buruk adalah seseorang kencing sambil berdiri.” (HR. Tirmidzi).
Ini merupakan perkataan Ibnu Mas'ud radhiyallahu 'anhu yang sangat jelas. Inilah pernyataan sangat tegas dari sebaik-baik generasi, yakni sahabat Nabi, dan bahkan merupakan rujukan di antara para sahabat radhiyallahu 'anhum ajma'in. Peringatan tersebut seolah menegaskan riwayat dari 'Aisyah radhiyallahu 'anha.
Akan tetapi, manakala tidak ada pilihan lain kecuali dengan berdiri, atau berada pada situasi yang kurang memungkinkan untuk kencing dengan duduk, maka kita dapat melakukannya dengan berdiri, sejauh tetap memperhatikan rambu-rambunya tadi (menjaga dari najis dan menjaga aurat agar terlindung dari penglihatan orang lain). Berkenaan dengan kencing sambil berdiri ini, mari kita ingat riwayat dari Hudzaifah radhiyallahu 'anhu, ia berkata:
“Aku pernah berjalan bersama Nabi shallaLlahu ‘alaihi wa sallam. Saat kami sampai di tempat pembuangan sampah suatu kaum, beliau kencing sambil berdiri. Maka aku pun menjauh dari tempat tersebut. Akan tetapi beliau bersabda, “Mendekatlah,” aku pun menghampiri beliau hingga aku berdiri di belakang kedua tumitnya. Kemudian beliau berwudhu dengan mengusap di atas kedua khuf (mirip sepatu) beliau.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Maka jika suatu saat menghadapi kesulitan untuk buang air kecil dengan cara duduk (termasuk jongkok) sehingga terpaksa harus dengan cara berdiri, maka lakukanlah dengan hati-hati agar tidak terkena najis. Bersihkanlah diri dari najis sesudah kencing, baik kencing dengan cara berdiri maupun duduk, dan jangan meremehkannya. Sesungguhnya banyak orang mengalami siksa kubur disebabkan meremehkan najiisnya kencing.
Ingatlah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu:
“Kebanyakan sebab siksa kubur adalah karena kencing.” (HR. Ahmad).
Tapi bagaimana jika tidak ada air untuk bersuci? Masih ada cara lain. Kita dapat melakukannya dengan menggunakan batu kering yang halus dan aman. Jangan kotoran binatang maupun tulang belulang karena keduanya dilarang. Bisa juga menggunakan tisu. Di sejumlah tempat, termasuk hotel maupun bandara, kita tidak menjumpai selain WC kering. Tidak ada air yang disediakan untuk cebok. Meskipun kita dapat mengambil air di kamar, tatkala sudah berada di dalam WC, maka keadaan kita adalah tidak mendapati air saat bersuci. Terlalu memberatkan dan bahkan menyebabkan najis yang merata jika menunggu tersedianya air. Sulit juga jika mengharuskan adanya batu. Yang terpenting dapat membersihkan dengan baik dan tuntas.
Saya teringat ketika suatu hari dalam penerbangan dari Kualalumpur menuju Hong Kong, perut mules tak tertahan. Mau buang air di bandara KLIA (yang sebagiannya cukup bersahabat dengan air), tidak memungkinkan karena harus segera boarding. Maka sesudah menanti saat menegangkan berupa proses take off sampai detik dibolehkannya melepas sabuk pengaman, saya segera berlari menuju toilet pesawat. Ketika itu, tak ada pilihan lain kecuali menggunakan tisu. Tidak mungkin menunggu mendarat di Hong Kong.
Islam itu mudah. Islam memberi jalan keluar. Maka ketika kita tidak tahu, hendaklah mencari ilmunya. Jangan mempertentangkannya dengan kehidupan sehari-hari maupun "tuntutan zaman" seolah sunnah mengungkung kita. Terlebih jika yang kita kira sunnah, ternyata tidak ada perintahnya secara khusus. Tapi hal yang lebih mendasar, sikap membenturkan sunnah dengan "bagaimana seharusnya hidup di zaman modern" dapat menjadi pintu fitnah syubhat yang memberatkan.
Wallahu a'lam bish-shawab.
Semoga Allah Ta'ala perjalankan kita hidup dengan Islam dan mati dalam keadaan benar-benar sebagai muslim yang seutuhnya. Semoga tidaklah Allah Ta'ala ambil nyawa kita kecuali dalam keadaan husnul khatimah; benar-benar beriman dan Allah Ta'ala ridhai.
مَنْ حَدَّثَكُمْ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَبُولُ قَائِمًا فَلَا تُصَدِّقُوهُ مَا كَانَ يَبُولُ إِلَّا قَاعِدًا
“Barangsiapa yang menceritakan kepada kalian bahwa Nabi shallaLlahu ‘alaihi wa sallam buang air kecil sambil berdiri maka janganlah kalian percayai, karena beliau tidak pernah buang air kecil kecuali dengan duduk.” (HR. Tirmidzi dan Nasa'i).
Berdasarkan penuturan 'Aisyah radhiyallahu 'anha ini, kita memperoleh pelajaran bahwa adab buang air kecil yang dicontohkan oleh Rasulullah shallaLlahu 'alaihi wa sallam adalah dengan cara duduk (قَاعِدًا). Inilah yang dijumpai oleh istri beliau dalam kehidupan sehari-hari hingga akhir hayat. Dan kita sepatutnya menjadikan kebiasaan beliau sebagai teladan dalam hidup kita. Sungguh, sebaik-baik contoh adalah Rasulullah shallaLlahu 'alaihi wa sallam. Kita mencontoh apa beliau kerjakan, kecuali hal-hal yang menjadi kekhususan bagi beliau sebagai nabi dan tidak berlaku bagi yang selain beliau.
Sekali lagi, yang dicontohkan oleh Rasulullah shallaLlahu 'alaihi wa sallam adalah buang air kecil dengan duduk (قَاعِدًا). Jongkok maupun bersila merupakan salah satu cara duduk. Tapi sangat sulit membayangkan seseorang buang air kecil dengan bersila. Maka, tidak mengherankan jika kita kerap memperoleh keterangan bahwa adab buang air kecil adalah dengan jongkok. Maksudnya, jongkok merupakan salah satu cara duduk. Jongkok ini merupakan sebaik-baik cara jika tempat buang air kecil hanya berupa ruangan tanpa WC sehingga buang air kecil di lantai, setelah kita terlebih dulu menyiramnya dengan air agar urine tidak membekas di lantai. Inilah yang dulu kita pelajari saat belajar tentang thaharah semasa kita kecil, semisal saat belajar Sullam Safinah. Jongkok juga cara yang tepat ketika tersedia WC jongkok. Tapi jika yang ada justru WC duduk, mengapa kita perlu merepotkan diri dengan memijakkan kaki di atasnya agar dapat melakukannya dengan jongkok? Tentu saja, saya tidak menyarankan Anda untuk bersila karena ini sangat menyulitkan dan beresiko menebarkan najis.
Yang perlu kita perhatikan adalah, hindari kencing di tempat yang airnya menggenang. Dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu 'anhu, ia berkata:
أَنَّهُ نَهَى أَنْ يُبَالَ فِى الْمَاءِ الرَّاكِدِ
“Rasulullah shallalLahu ‘alaihi wa sallam melarang kencing di air tergenang.” (HR. Muslim).
Yang dimaksud menggenang ialah airnya tidak mengalir dan tidak dapat dialirkan dengan mudah. Adapun air yang ada di dalam WC yang berfungsi untuk menjaga agar WC lancar dan tidak menyebabkan bau busuk, maka yang demikian ini bukan termasuk air menggenang. Bahkan airnya mudah berganti, mudah mengalir, mudah pula mengalirkan ke dalamnya.
Jadi, yang terlarang adalah buang air kecil di tempat air tergenang, baik sedikit ataupun banyak semisal kolam ikan depan rumah orang. Lebih buruk lagi, bahkan termasuk yang dilaknat, ialah buang air kecil maupun buang air besar di tempat manusia biasa berteduh. Lebih-lebih jika menggabungkan keduanya, yakni airnya tergenang dan sekaligus merupakan tempat manusia berteduh, istirahat.
Sebagaimana ditururkan oleh Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallaLlahu 'alaihi wa sallam bersabda kepada para sahabat:
اتَّقُوا اللَّاعِنَيْنِ قَالُوا وَمَا اللَّاعِنَانِ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ الَّذِي يَتَخَلَّى فِي طَرِيقِ النَّاسِ أَوْ ظِلِّهِمْ
“Takutlah kalian terhadap perihal dua orang yang terlaknat.” Mereka (para sahabat) bertanya, "Siapakah dua orang yang terlaknat itu, Ya RasulaLlah?” Beliau menjawab, “Yaitu orang yang buang air di jalanan manusia atau tempat berteduhnya mereka.” (HR. Abu Dawud).
Membaca hadis ini, saya sedih dan merinding jika mengingat sebagian tempat di negeri kita; tentang WC umum yang baunya sangat menyengat atau tentang jalanan yang juga menandakan berulangnya orang buang air kecil di jalanan maupun tempat-tempat berteduh manusia di berbagai lokasi. Jika tidak terjadi berulang kali, tidaklah mungkin baunya sampai sedemikian menyengat sehinga satu kali dua kali diguyur hujan pun tidak hilang. Ini juga menandakan betapa agama masih jauh. Maka, bagaimana kita akan mengharap negeri yang digambarkan sebagai baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur jika hal yang tampak sepele saja sulit kita jumpai di masyarakat?
'Alaa kulli hal, mari kita tengok kembali, pernahkah kita melakukan salah satu dari dua perbuatan terlaknat tersebut? Jika kita pernah kencing (apalagi yang lebih dari itu) di jalanan yang dilewati manusia atau di tempat-tempat berteduhnya manusia, maka marilah kita memohon ampun kepada Allah Ta'ala. Kita juga berusaha untuk tidak mengulanginya lagi di masa-masa yang akan datang.
Bagaimana jika kita hendak buang air kecil tapi tidak ada pilihan kecuali dengan berdiri? Yang penting menjaga diri dari najis, menjaga aurat agar tidak tampak oleh orang lain dan berhati-hati dari najisnya kencing sekaligus memperhatikan agar najisnya tidak menebar (memercik) kemana-mana. Sebagaimana kita baca dalam hadis riwayat Tirmidzi dan Nasa'i, Rasulullah shallaLlahu 'alaihi wa sallam memang tidak pernah buang kecil dengan cara berdiri sejauh yang diketahui oleh istri beliau, yakni 'Aisyah radhiyallahu 'anha. Selama membersamai Rasulullah shallaLlahu 'alaihi wa sallam, Ummul Mukminin tidak pernah mendapati suaminya kencing dengan berdiri.
Kita juga mendapati peringatan dari Ibnu Mas'ud radhiyallahu 'anhu:
إِنَّ مِنَ الجَفَاءِ أَنْ تَبُوْلَ وَأَنْتَ قَائِمٌ
“Di antara perangai yang buruk adalah seseorang kencing sambil berdiri.” (HR. Tirmidzi).
Ini merupakan perkataan Ibnu Mas'ud radhiyallahu 'anhu yang sangat jelas. Inilah pernyataan sangat tegas dari sebaik-baik generasi, yakni sahabat Nabi, dan bahkan merupakan rujukan di antara para sahabat radhiyallahu 'anhum ajma'in. Peringatan tersebut seolah menegaskan riwayat dari 'Aisyah radhiyallahu 'anha.
Akan tetapi, manakala tidak ada pilihan lain kecuali dengan berdiri, atau berada pada situasi yang kurang memungkinkan untuk kencing dengan duduk, maka kita dapat melakukannya dengan berdiri, sejauh tetap memperhatikan rambu-rambunya tadi (menjaga dari najis dan menjaga aurat agar terlindung dari penglihatan orang lain). Berkenaan dengan kencing sambil berdiri ini, mari kita ingat riwayat dari Hudzaifah radhiyallahu 'anhu, ia berkata:
كُنْتُ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَانْتَهَى إِلَى سُبَاطَةِ قَوْمٍ فَبَالَ قَائِمًا فَتَنَحَّيْتُ فَقَالَ ادْنُهْ فَدَنَوْتُ حَتَّى قُمْتُ عِنْدَ عَقِبَيْهِ فَتَوَضَّأَ فَمَسَحَ عَلَى خُفَّيْهِ
“Aku pernah berjalan bersama Nabi shallaLlahu ‘alaihi wa sallam. Saat kami sampai di tempat pembuangan sampah suatu kaum, beliau kencing sambil berdiri. Maka aku pun menjauh dari tempat tersebut. Akan tetapi beliau bersabda, “Mendekatlah,” aku pun menghampiri beliau hingga aku berdiri di belakang kedua tumitnya. Kemudian beliau berwudhu dengan mengusap di atas kedua khuf (mirip sepatu) beliau.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Maka jika suatu saat menghadapi kesulitan untuk buang air kecil dengan cara duduk (termasuk jongkok) sehingga terpaksa harus dengan cara berdiri, maka lakukanlah dengan hati-hati agar tidak terkena najis. Bersihkanlah diri dari najis sesudah kencing, baik kencing dengan cara berdiri maupun duduk, dan jangan meremehkannya. Sesungguhnya banyak orang mengalami siksa kubur disebabkan meremehkan najiisnya kencing.
Ingatlah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu:
أَكْثَرُ عَذَابِ الْقَبْرِ فِي الْبَوْلِ
“Kebanyakan sebab siksa kubur adalah karena kencing.” (HR. Ahmad).
Tapi bagaimana jika tidak ada air untuk bersuci? Masih ada cara lain. Kita dapat melakukannya dengan menggunakan batu kering yang halus dan aman. Jangan kotoran binatang maupun tulang belulang karena keduanya dilarang. Bisa juga menggunakan tisu. Di sejumlah tempat, termasuk hotel maupun bandara, kita tidak menjumpai selain WC kering. Tidak ada air yang disediakan untuk cebok. Meskipun kita dapat mengambil air di kamar, tatkala sudah berada di dalam WC, maka keadaan kita adalah tidak mendapati air saat bersuci. Terlalu memberatkan dan bahkan menyebabkan najis yang merata jika menunggu tersedianya air. Sulit juga jika mengharuskan adanya batu. Yang terpenting dapat membersihkan dengan baik dan tuntas.
Saya teringat ketika suatu hari dalam penerbangan dari Kualalumpur menuju Hong Kong, perut mules tak tertahan. Mau buang air di bandara KLIA (yang sebagiannya cukup bersahabat dengan air), tidak memungkinkan karena harus segera boarding. Maka sesudah menanti saat menegangkan berupa proses take off sampai detik dibolehkannya melepas sabuk pengaman, saya segera berlari menuju toilet pesawat. Ketika itu, tak ada pilihan lain kecuali menggunakan tisu. Tidak mungkin menunggu mendarat di Hong Kong.
Islam itu mudah. Islam memberi jalan keluar. Maka ketika kita tidak tahu, hendaklah mencari ilmunya. Jangan mempertentangkannya dengan kehidupan sehari-hari maupun "tuntutan zaman" seolah sunnah mengungkung kita. Terlebih jika yang kita kira sunnah, ternyata tidak ada perintahnya secara khusus. Tapi hal yang lebih mendasar, sikap membenturkan sunnah dengan "bagaimana seharusnya hidup di zaman modern" dapat menjadi pintu fitnah syubhat yang memberatkan.
Wallahu a'lam bish-shawab.
Semoga Allah Ta'ala perjalankan kita hidup dengan Islam dan mati dalam keadaan benar-benar sebagai muslim yang seutuhnya. Semoga tidaklah Allah Ta'ala ambil nyawa kita kecuali dalam keadaan husnul khatimah; benar-benar beriman dan Allah Ta'ala ridhai.
0 Komentar