MediaTangerang.com, - Kerangka dari perahu kayu masih tersisa dan menjadi saksi bisu perjuangan dari para migran Rohingya yang gagal masuk ke Malaysia melalui Padang Matsirat pada tahun 2012 silam.
Rumput-rumput liar pun tumbuh di dalam lambung bangkai perahu kayu tersebut. Keberadaan perahu kayu itu pun mengundang tanya bagaimanakah nasib para penumpangnya kini?.
Desa Azali Nanyan (32 Tahun), warga setempat mengungkapkan sekitar 50 pengungsi Rohingya berlabuh menggunakan perahu kayu itu tiga tahun yang lalu. Namun, para migran langsung dijemput oleh pihak berwenang.
Dengan berjalan kaki, mereka meninggalkan kapal dan menuju penampungan pekerja konstruksi untuk para pemegang kartu UNHCR guna bertahan hidup selama bertahun-tahun.
Mahmud Inus (42) seorang Rohingya yang saat ini berada di penampungan mengaku tak mau lagi ketika berada di kampung halamannya di negara bagian Rakhine, Myanmar. "Saya seorang Muslim, dan saya tidak memiliki tempat di Myanmar," ungkap Mahmud seperti dikutip dari Thestar Malaysia, Senin (18/5).
Bahkan, sambung Mahmud, mereka tidak pernah diakui sebagai warga negara Myanmar. "Mereka membunuh Muslim di sana, konflik antara Muslim dan buddha sudah berlangsung selama 25 tahun," keluhnya.
Mahmud sudah sebelas tahun tinggal di Malaysia. Ia masuk ke Malaysia melalui Thailand menggunakan sebuah kapal.
Faizal Ahmad (35), Rohingya lainnya mengatakan tujuan dirinya pergi dari negaranya adalah untuk mengejar kehidupan yang lebih baik bagi dirinya dan keluarganya. "Ada banyak masjid di Myanmar, tapi selalu dalam kondisi terkunci. Kami tidak diperbolehkan untuk berdoa, kami tidak bisa beribadah," ujarnya.
Bahkan, sambung Faizal, anak-anak saya tidak diizinkan untuk mengenyam pendidikan. "Mereka tidak bisa belajar membaca buku," ucapnya. Dirinya pun tidak diberikan kesempatan untuk bekerja. Kalaupun bekerja setengah gaji mereka diambil oleh pengusaha yang memperkerjakan mereka.
Oleh sebab itu, para Rohingya mengambil risiko besar dengan melakukan perjalanan ke Malaysia dengan menggunakan kapal, sebagai jalan keluar untuk bebas dari mimpi buruk mereka. Namun, ternyata di dalam kapal mimpi buruk mereka belum berakhir sampai mereka harus kembali menginjakkan kaki di atas daratan.
"Mereka yang tidak mampu membayar kapten 10.000 Ringgit Malaysia maka akan ditembak mati," katanya.
Lalu, siapakah orang yang menjalankan operasi perdagangan manusia dan memerintahkan pembunuhan, Mahmud hanya menggambarkan mereka sebagai "Siam".
Rumput-rumput liar pun tumbuh di dalam lambung bangkai perahu kayu tersebut. Keberadaan perahu kayu itu pun mengundang tanya bagaimanakah nasib para penumpangnya kini?.
Desa Azali Nanyan (32 Tahun), warga setempat mengungkapkan sekitar 50 pengungsi Rohingya berlabuh menggunakan perahu kayu itu tiga tahun yang lalu. Namun, para migran langsung dijemput oleh pihak berwenang.
Dengan berjalan kaki, mereka meninggalkan kapal dan menuju penampungan pekerja konstruksi untuk para pemegang kartu UNHCR guna bertahan hidup selama bertahun-tahun.
Mahmud Inus (42) seorang Rohingya yang saat ini berada di penampungan mengaku tak mau lagi ketika berada di kampung halamannya di negara bagian Rakhine, Myanmar. "Saya seorang Muslim, dan saya tidak memiliki tempat di Myanmar," ungkap Mahmud seperti dikutip dari Thestar Malaysia, Senin (18/5).
Bahkan, sambung Mahmud, mereka tidak pernah diakui sebagai warga negara Myanmar. "Mereka membunuh Muslim di sana, konflik antara Muslim dan buddha sudah berlangsung selama 25 tahun," keluhnya.
Mahmud sudah sebelas tahun tinggal di Malaysia. Ia masuk ke Malaysia melalui Thailand menggunakan sebuah kapal.
Faizal Ahmad (35), Rohingya lainnya mengatakan tujuan dirinya pergi dari negaranya adalah untuk mengejar kehidupan yang lebih baik bagi dirinya dan keluarganya. "Ada banyak masjid di Myanmar, tapi selalu dalam kondisi terkunci. Kami tidak diperbolehkan untuk berdoa, kami tidak bisa beribadah," ujarnya.
Bahkan, sambung Faizal, anak-anak saya tidak diizinkan untuk mengenyam pendidikan. "Mereka tidak bisa belajar membaca buku," ucapnya. Dirinya pun tidak diberikan kesempatan untuk bekerja. Kalaupun bekerja setengah gaji mereka diambil oleh pengusaha yang memperkerjakan mereka.
Oleh sebab itu, para Rohingya mengambil risiko besar dengan melakukan perjalanan ke Malaysia dengan menggunakan kapal, sebagai jalan keluar untuk bebas dari mimpi buruk mereka. Namun, ternyata di dalam kapal mimpi buruk mereka belum berakhir sampai mereka harus kembali menginjakkan kaki di atas daratan.
"Mereka yang tidak mampu membayar kapten 10.000 Ringgit Malaysia maka akan ditembak mati," katanya.
Lalu, siapakah orang yang menjalankan operasi perdagangan manusia dan memerintahkan pembunuhan, Mahmud hanya menggambarkan mereka sebagai "Siam".
Republika.co.id
0 Komentar