Muslim Afrika Tengah (foto: republika.co.id) |
MediaTangerang.com, - Selama beberapa dasawarsa terakhir, Republik Afrika Tengah terus bergolak. Sesekali redam, kemudian kembali bergejolak. Transisi kepemimpinan yang silih berganti acapkali diwarnai kudeta berdarah dan pemberontakan. Konflik politik itu merembet ke konflik sektarian.
Ada ratusan etnis di negara yang terletak di jantung Benua Afrika itu. Yang terbesar adalah Baya, Banda, Manjia, Sara Mbourn, M'baka, dan Yakoma. Konon, Islam masuk ke Republik Afrika Tengah bersamaan dengan masuknya Islam ke Chad pada abad ke-11. Tidak ditemukan keterangan siapa yang menyebarkan Islam ke negara ini.
Islam, seperti dilansir dari Republika, adalah agama minoritas di negara yang berbatasan dengan Kongo, Chad, Sudan, Republik Demokratik Kongo, dan Zaire ini. Dalam laporannya yang berjudul "Central Africa, Massacres and Displacement" Juni 2014, Organization of Islamic Cooperation (OIC), berjudul "Central Africa, Massacres and Displacement", mengungkapkan sebagian besar Muslim berada di perbatasan Chad dan Sudan. Muslim berkisar 15 persen, sedangkan 85 persen sisanya menganut Kristen dan agama kepercayaan.
Selama kurun waktu satu dekade terakhir, konflik di negara yang dulu bernama Ubangi- Shari itu kembali pecah pascakudeta militer aliansi faksi politik Muslim-Seleka pada Maret 2013. Seleka menggulingkan pemimpin Kristen, Francois Bozize, yang telah berkuasa sejak 2003. Michel Djotodia kemudian mengumumkan diri sebagai presiden Muslim pertama di negara itu.
Kelompok milisi Kristen anti-Balaka membalas kudeta tersebut lewat serangkaian pemberontakan. September 2013, mereka mulai menyerang komunitas Muslim sebagai aksi balas dendam atas kekerasan Seleka terhadap non-Muslim. Mereka didukung oleh anggota angkatan bersenjata yang setia kepada mantan presiden Francois Bozize.
Tak lama, presiden Djotodia mengundurkan diri pada 10 Januari 2014 menyusul tekanan internasional yang kuat. Pasukan Seleka menarik diri dari bagian barat negara itu. Kekosongan kekuasaan segera dimanfaatkan oleh milisi anti-Balaka. Sejak itulah, pembersihan terhadap etnis Muslim Afrika Tengah dimulai.
"Sejak akhir 2013 dan awal 2014, Muslim di negara tersebut menghadapi penyiksaan dan ancaman kematian oleh milisi Kristen," tulis Amnesty Internasional, dilansir dari Morocco World News. Lembaga itu merilis laporan berjudul "Identitas yang Terhapus: Muslim di Wilayah Etnis Dibersihkan dari Republik Afrika Tengah", pada 31 Juli lalu.
Pada kunjungan terakhir ke bagian barat Republik Afrika Tengah, delegasi Amnesty Internasional mengunjungi 12 daerah yang menjadi kantong-kantong Muslim. Lebih dari 30 ribu Muslim tinggal di tujuh kantong yang dijaga oleh pasukan keamanan PBB. Selebihnya, ribuan Muslim di daerah pedesaan rentan menjadi sasaran pasukan milisi.
Sekretaris Jenderal PBB melaporkan pada Maret 2014, "Demografi etnis dan agama di negara itu telah berubah secara radikal pascakonflik." Sejumlah desa tinggal menyisakan segelintir penduduk Muslim. Masjid telah rusak parah atau hancur. Kumandang azan tidak lagi terdengar. Sedangkan, potret suram realitas Muslim di negara yang merdeka pada 1960 ini jauh lebih kompleks dari yang tampak.
Genosida
Tidak mudah bagi umat Islam untuk bertahan hidup di negara bekas koloni Prancis tersebut. Kurangnya keamanan menjadi tantangan terbesar komunitas Muslim di sana. Kelompok bersenjata anti-Balaka mengusir puluhan ribu umat Islam dari negara ini tahun lalu. Mereka terus memegang kekuasaan yang signifikan.
Masyarakat Muslim terpaksa menegosiasikan keberadaan mereka dengan milisi anti- Balaka. Di beberapa tempat, milisi anti-Balaka memberi tekanan kuat pada Muslim untuk melakukan konversi ke Kristen. Di wilayah lain, kecuali beberapa kota yang dijaga pasukan penjaga keamanan PBB, Muslim secara efektif dilarang mempraktikkan agama mereka di depan umum.
Identitas Islam tidak diperkenankan hadir di ruang publik. Muslim tidak bisa shalat, kecuali secara rahasia. Tidak dapat mengenakan pakaian Muslim tradisional. Selain itu, tidak dapat membangun kembali masjid mereka. Meski masyarakat menyadari keberadaan identitas Muslim, agama telah dibuat tak tampak di wilayah ini.
Lebih jauh lagi, afiliasi agama tidak menjadi satu-satunya faktor. Toleransi milisi anti- Balaka terhadap kehadiran Muslim cenderung variatif, tergantung etnis dan kekerabatan komunitas Muslim yang bersangkutan dengan komunitas Kristen.
Muslim etnis Gbaya misalnya, mendapat lebih banyak keleluasaan dibandingkan kelompok etnis Muslim lain. Pasalnya, Gbaya merupakan etnis asli Afrika Selatan. Sebaliknya, umat Islam yang berasal dari Chad atau Sudan lebih sering dianggap musuh.
Orang-orang Arab tidak diizinkan untuk kembali. "Bagi milisi anti-Balaka, mereka tak terhapuskan kaitannya dengan Seleka," kata seorang Muslim kepada Amnesty International, mengenai orang-orang keturunan Chad dan Sudan. Lebih dari 30 ribu Muslim hidup dalam keterbatasan di kantong-kantong Muslim, sementara puluhan ribu lainnya menjadi pengungsi di luar negeri.
Konversi Paksa
Hampir semua Muslim yang diwawancarai Amnesty Internasional mengaku melarikan diri ke hutan saat serangan anti-Balaka perta ma kali terjadi di negara desa mereka. Beberapa orang bersembunyi selama beberapa hari, sementara yang lain menghabiskan beberapa pekan, bahkan beberapa bulan, untuk kembali pulang.
"Seluruh keluarga saya melarikan diri saat pertama kali milisi anti-Balaka melancarkan serangan," kenang Moussa J dari Desa Guen. Ayahnya seorang mualaf, sedangkan ibunya Kristen. Milisi anti-Balaka yang datang ke Guen pada Februari 2014 telah menewaskan lebih dari 70 Muslim selama beberapa hari pembantaian.
Moussa menuturkan, mereka menghabiskan dua pekan di semak-semak. Keluarga itu sempat ditangkap dan disandera, sampai seorang sepupu menegosiasikan pembebasan mereka. Ia harus membayar 50.000 CFA (setara Rp 1,1 juta) kepada milisi. Setelah pembebasan, Moussa J dan keluarga terus menghadapi ancaman kematian. Mereka harus berulang kali membayar kepada kelompok milisi.
Omaru F, seorang penambang berlian, menuturkan kisah lain yang tak kalah tragis. Ia mengisahkan konversi paksa penduduk Muslim di desa Bania, prefektur Mambere Kadei. Milisi anti-Balaka dari Kota Carnot dan Bouar menyerang Desa Bania pada Februari 2014. Mereka menewaskan dua tokoh senior pemimpin Muslim, yang menyebabkan sisa-sisa umat Islam melarikan diri ke hutan. Muslim bersembunyi dalam kelompok-kelompok kecil.
Setelah beberapa pekan, kisah dia, kepala desa dan seorang pendeta Protestan datang ke hutan. Mereka menyampaikan pesan, jika Muslim tidak kembali ke desa, milisi anti- Balaka akan mengejar dan membunuh mereka. Syaratnya untuk kembali, mereka harus masuk Kristen.
Para penduduk kemudian dibaptis di Gereja Apostolik dalam sebuah upacara yang dihadiri kepala desa. Mereka harus menunjukkan kartu baptis anti-Balaka supaya tidak di bunuh. Omaru mengaku tidak pernah menerima Kristen dalam hatinya, meski telah dibaptis. Pelecehan agama mendorong Omaru untuk melarikan diri ke Berberati beberapa bulan kemudian.
Kepada Amnesty International, Mei kemarin, Muslim di Bania mengatakan bahwa situasi mulai membaik. Meski, mereka masih menghadapi ancaman sporadis dari milisi anti-Balaka yang berasal dari desa-desa lain. Sebagian tetap memilih Kristen untuk alasan keamanan.
Secara de facto, larangan untuk shalat ada di mana-mana. "Kami hanya bisa shalat di rumah, sendirian, secara rahasia," kata Ali dari Desa Bania. Penuturan serupa disampaikan puluhan Muslim lain. Menurut Abdou Y dari desa Mbaiki, shalat bisa dibilang ilegal bagi mereka. Semua harus dilakukan sembunyi- sembunyi, tergesa-gesa, dan sendirian. Shalat Jumat apalagi, tidak mungkin dilakukan.
0 Komentar