MediaTangerang.com, - Azan dzuhur terdengar di tengah cuaca terik kawasan Ratnapur, Kathmandu, Nepal. Termometer menunjukkan suhu 32 derajat. Bahkan bagi penduduk wilayah tropis, cuaca ini amat menyiksa akibat kombinasi debu dan panas yang kering.
Tapi jamaah tetap berdatangan ke Masjid Jami Nepal. Deretan saf yang tadinya kosong, tiba-tiba terisi hingga separuhnya. Warga sekitar dari etnis Urdu, tim relawan korban gempa dari berbagai negar, maupun musafir lain segera menunaikan salat.
Setelah empat rakaat, belasan anggota jamaah tabligh asal Pakistan menggelar diskusi keagamaan. Sementara jamaah lainnya melanjutkan aktivitas masing-masing.
"Ini kondisi masjid kami setiap hari, dengan atau tanpa adanya relawan. Kalau salat Jumat, bangunan Masjid Jami pasti tidak bisa menampung umat sehingga ibadah sampai di luar ruangan", kata Pengurus Takmir Masjid Jami Nepal Mohammad Rizwan seperti dilansir merdeka.com, Selasa (05/05/2015).
Kini muslim bisa beribadah secara nyaman. Pemerintah Nepal mengizinkan mereka mengumandangkan azan, istirahat untuk salat Jumat, serta merayakan Idul Fitri dan Idul Adha sebagai hari raya nasional.
Kenyamanan beribadah ini belum lama terjadi, kata Rizwan.
Umat muslim di Nepal punya sejarah panjang yang kelam. Di negara mayoritas Hindu dan Buddha itu, rombongan penduduk beragama Islam pertama-tama datang dari wilayah Kashmir, India pada 1482. Raja Ratna Malla menyambut baik kedatangan para saudagar di kerajaan lereng Pegunungan Himalaya tersebut.
Di era Dinasti Malla, umat muslim diakui. Banyak yang menetap di Terai (kawasan perbatasan) dan Sunsari. Kondisi berubah pada kepemimpinan Perdana Menteri Jung Bahadur bersama Kerajaan Inggris. Terbit UU pada 1853 menyatakan umat muslim adalah warga negara dengan kasta terendah.
Tekanan pada muslim mereda pada 1960. UU diskriminatif dicabut, tapi pemerintah Nepal melarang perpindahan agama dari Hindu Ke Islam. Bila aktif berdakwah, bisa dipenjara tiga tahun.
Rizwan menjelaskan umat muslim menaati peraturan tersebut. Imam besar Masjid Jami akan memfasilitasi bila ada umat agama lain ingin masuk Islam. Tapi kami tidak akan berdakwah, ujarnya.
Dalam kondisi terjepit sekalipun, umat muslim di Nepal tetap tumbuh. Warga lokal yang bekerja sebagai buruh migran ke Timur Tengah, biasanya tertarik masuk Islam. Di Kathmandu saja kami terdiri atas lebih dari 1.000 kepala keluarga, ungkap Rizwan.
Merujuk sensus terakhir pada 2012, ada 1,1 juta penganut ajaran Islam di Nepal, urutan ketiga setelah Hindu dan Buddha. Itu mencakup sekitar 10 persen total populasi di negara lereng Pegunungan Himalaya tersebut. Kebanyakan adalah warga India keturunan etnis urdu.
Posisi politik umat Islam membaik setelah banyak dari mereka sukses di bidang perdagangan. Tak sedikit terlibat politik lalu masuk ke pemerintahan Nepal.
Selepas gempa 7,8 skala richter bulan lalu, beruntung hanya segelintir umat muslim menjadi korban. Kini para saudagar, termasuk Rizwan, aktif mengumpulkan bantuan kepada sesama warga Nepal, berupa beras, makanan siap saji, dan air bersih.
Manusia pada dasarnya sama. Orang dari desa manapun yang butuh akan kami kirimi bantuan, tuturnya.
Tapi jamaah tetap berdatangan ke Masjid Jami Nepal. Deretan saf yang tadinya kosong, tiba-tiba terisi hingga separuhnya. Warga sekitar dari etnis Urdu, tim relawan korban gempa dari berbagai negar, maupun musafir lain segera menunaikan salat.
Setelah empat rakaat, belasan anggota jamaah tabligh asal Pakistan menggelar diskusi keagamaan. Sementara jamaah lainnya melanjutkan aktivitas masing-masing.
"Ini kondisi masjid kami setiap hari, dengan atau tanpa adanya relawan. Kalau salat Jumat, bangunan Masjid Jami pasti tidak bisa menampung umat sehingga ibadah sampai di luar ruangan", kata Pengurus Takmir Masjid Jami Nepal Mohammad Rizwan seperti dilansir merdeka.com, Selasa (05/05/2015).
Kini muslim bisa beribadah secara nyaman. Pemerintah Nepal mengizinkan mereka mengumandangkan azan, istirahat untuk salat Jumat, serta merayakan Idul Fitri dan Idul Adha sebagai hari raya nasional.
Kenyamanan beribadah ini belum lama terjadi, kata Rizwan.
Umat muslim di Nepal punya sejarah panjang yang kelam. Di negara mayoritas Hindu dan Buddha itu, rombongan penduduk beragama Islam pertama-tama datang dari wilayah Kashmir, India pada 1482. Raja Ratna Malla menyambut baik kedatangan para saudagar di kerajaan lereng Pegunungan Himalaya tersebut.
Di era Dinasti Malla, umat muslim diakui. Banyak yang menetap di Terai (kawasan perbatasan) dan Sunsari. Kondisi berubah pada kepemimpinan Perdana Menteri Jung Bahadur bersama Kerajaan Inggris. Terbit UU pada 1853 menyatakan umat muslim adalah warga negara dengan kasta terendah.
Tekanan pada muslim mereda pada 1960. UU diskriminatif dicabut, tapi pemerintah Nepal melarang perpindahan agama dari Hindu Ke Islam. Bila aktif berdakwah, bisa dipenjara tiga tahun.
Rizwan menjelaskan umat muslim menaati peraturan tersebut. Imam besar Masjid Jami akan memfasilitasi bila ada umat agama lain ingin masuk Islam. Tapi kami tidak akan berdakwah, ujarnya.
Dalam kondisi terjepit sekalipun, umat muslim di Nepal tetap tumbuh. Warga lokal yang bekerja sebagai buruh migran ke Timur Tengah, biasanya tertarik masuk Islam. Di Kathmandu saja kami terdiri atas lebih dari 1.000 kepala keluarga, ungkap Rizwan.
Merujuk sensus terakhir pada 2012, ada 1,1 juta penganut ajaran Islam di Nepal, urutan ketiga setelah Hindu dan Buddha. Itu mencakup sekitar 10 persen total populasi di negara lereng Pegunungan Himalaya tersebut. Kebanyakan adalah warga India keturunan etnis urdu.
Posisi politik umat Islam membaik setelah banyak dari mereka sukses di bidang perdagangan. Tak sedikit terlibat politik lalu masuk ke pemerintahan Nepal.
Selepas gempa 7,8 skala richter bulan lalu, beruntung hanya segelintir umat muslim menjadi korban. Kini para saudagar, termasuk Rizwan, aktif mengumpulkan bantuan kepada sesama warga Nepal, berupa beras, makanan siap saji, dan air bersih.
Manusia pada dasarnya sama. Orang dari desa manapun yang butuh akan kami kirimi bantuan, tuturnya.
0 Komentar